Maestro Seni Lukis Indonesia
Dari segi pendidikan, putra Cirebon
kelahiran Cirebon tahun 1907 ini termasuk seorang yang memiliki pendidikan
formal yang cukup tinggi. Bagi generasinya yang kelahiran 1907, memperoleh
pendidikan H.I.S, MULO, dan selanjutnya tamat dari A.M.S, termasuk pendidikan
yang hanya diperoleh oleh segelintir anak negeri. Namun bakat seni lukisnya
yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan
memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang
lainnya.
Ketika Republik ini diproklamasikan
1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok
ditulisi antara lain "Merdeka atau mati!". Kata-kata itu diambil dari
penutup pidato Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966)
Bung Karno 'Lahirnya Pancasila', 1 Juni 1945. Saat itulah, Pelukis
Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster itu idenya dari Proklamator,
Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966)
Bung
Karno, gambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Yang dijadikan
model pelukis Dullah. Lalu kata-kata apa yang harus ditulis di poster itu?
Kebetulan muncul Penyair Legendaris Indonesia
penyair Penyair Legendaris Indonesia
Chairil Anwar. Soedjojono menanyakan kepada Chairil, maka dengan enteng Chairil
ngomong: "BUNG, AYO BUNG!"
Dan
selesailah poster bersejarah itu. Sekelompok pelukis siang malam
memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah. Dari mana kah Chairil memungut
kata-kata itu? Ternyata kata-kata itu, biasa diucapkan oleh pelacur-pelacur di
Jakarta yang menawarkan dagangannya pada jaman itu.
Bakat
melukis yang menonjol pada dirinya pernah enorehkan cerita menarik dalam
kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di
Santiniketan, India, suatu Akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore.
Ketika telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah
tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah
diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India.
Sepulang
dari India, Eropa, pada tahun limapuluhan, Pelukis
Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang tak berpartai dalam
pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Frof. Ir. Saloekoe
Poerbodiningrat dsb untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang
konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya katanya
Pelukis
Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi
angkat bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang
dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak sebelum revolusi.
Lalu
apa topik yang diangkat Affandi? "Kita bicara tentang Perikemanusiaan,
lalu bagaimana tentang Perikebinatangan?" demikianlah dia memulai
orasinya. Tentu saja yang mendengar semua tertawa ger-geran. Affandi bukan
orang humanis biasa. Pelukis yang suka pakai sarung, juga ketika dipanggil ke
istana semasa Suharto masih berkuasa dulu, intuisinya sangat tajam. Meskipun
hidup di jaman teknologi yang sering diidentikkan jaman modern itu, dia masih
sangat dekat dengan fauna, flora dan alam semesta ini. Ketika Affandi
mempersoalkan 'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap
lingkungan hidup masih sangat rendah.
Affandi
juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi
kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Presiden Republik Indonesia
Kedua (1966-1988)
Soeharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk
Ngantung, dan sebagainya.
Pada
tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup
gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai 'kebudayaan imperialis'.
Film-film Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan
untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun, pameran di sana.
Ketika
sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi
yang pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi
persoalan ini, ada yang nyeletuk: "Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tapi
dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan Lepra!" kata teman itu dengan
kalem. Karuan saja semua tertawa.
Dalam
perjalanannya berkarya, pemegang gelar Doctor Honoris Causa dari University of
Singapore tahun 1974, ini dikenal sebagai seorang pelukis yang menganut aliran
ekspresionisme atau abstrak. Sehingga seringkali lukisannya sangat sulit
dimengerti oleh orang lain terutama oleh orang yang awam tentang dunia seni
lukis jika tanpa penjelasannya. Namun bagi pecinta lukisan hal demikianlah yang
menambah daya tariknya.
Affandi
memang hanyalah salah satu pelukis besar Indonesia bersama pelukis besar
lainnya seperti Pelukis
Raden Saleh, Basuki Abdullah dan lain-lain. Namun karena berbagai kelebihan dan
keistimewaan karya-karyanya, para pengagumnya sampai menganugerahinya berbagai
sebutan dan julukan membanggakan antara lain seperti julukan Pelukis
Ekspressionis Baru Indonesia bahkan julukan Maestro. Adalah Koran International
Herald Tribune yang menjulukinya sebagai Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia,
sementara di Florence, Italia dia telah diberi gelar Grand Maestro.
Berbagai
penghargaan dan hadiah bagaikan membanjiri perjalanan hidup dari pria yang
hampir seluruh hidupnya tercurah pada dunia seni lukis ini. Di antaranya, pada
tahun 1977 ia mendapat Hadiah Perdamaian dari International Dag Hammershjoeld.
Bahkan Komite Pusat Diplomatic Academy of Peace PAX MUNDI di Castelo San
Marzano, Florence, Italia pun mengangkatnya menjadi anggota Akademi Hak-Hak
Azasi Manusia.
Dari
dalam negeri sendiri, tidak kalah banyak penghargaan yang telah diterimanya, di
antaranya, penghargaan "Bintang Jasa Utama" yang dianugrahkan
Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1978. Dan sejak 1986 ia juga diangkat
menjadi Anggota Dewan Penyantun ISI (Institut Seni Indonesia) di Wakil Presiden
Republik Indonesia (1972-1978)
Yogyakarta. Bahkan seorang Penyair Legendaris Indonesia
penyair Angkatan 45 sebesar Penyair Legendaris Indonesia
Chairil Anwar pun pernah menghadiahkannya sebuah sajak yang khusus untuknya
yang berjudul Kepada Pelukis Affandi.
Untuk
menghargai karya-karya besarnya, berbagai lembaga atau yayasan juga berusaha
mengabadikan kenang-kenangan pelukis besar ini. Pada tahun 1976, Prix
International Dag Hammerskjoeld telah menerbitkan sebuah buku kenang-kenangan
tentang "Affandi". Buku setebal 189 halaman lebih itu diterbitkan
dalam 4 bahasa, yaitu dalam bahasa Inggris, Belanda, Perancis, dan Indonesia.
Demikian juga Penerbitan Yayasan Kanisius, telah menerbitkan sebuah buku
tentang Affandi karya Nugraha Sumaatmadja pada tahun 1975.
Begitu
pula dalam rangka memperingati 70 tahun Affandi pada tahun 1978, Dewan Kesenian
Jakarta pun menerbitkan buku "Affandi 70 Tahun" susunan Ajip Rosidi,
Zaini, Sudarmadji. Dan dalam rangka memperingati 80 tahun Affandi di tahun
1987, Yayasan Bina Lestari Budaya Jakarta, menerbitkan sebuah buku tentang
"Affandi". Buku yang disusun oleh Raka Sumichan dan Budayawan,
Novelis, Cerpenis, Dosen
Umar Kayam setebal 222 halaman lebih itu diterbitkan dalam dua bahasa yakni
bahasa Inggris dan Indonesia.
Untuk
mendekatkan dan memperkenalkan karya-karyanya kepada para pecinta seni lukis,
Affandi sering mengadakan pameran di berbagai tempat. Di negara India, dia
telah mengadakan pameran keliling ke berbagai kota. Demikian juga di berbagai negara
di Eropa, Amerika serta Australia. Di Eropa, ia telah mengadakan pameran antara
lain di London, Amsterdam, Brussels, Paris dan Roma. Begitu juga di
negara-negara benua Amerika seperti di Brazilia, Venezia, San Paulo, dan
Amerika Serikat. Hal demikian jugalah yang membuat namanya dikenal di berbagai
belahan dunia.
Meski sudah melanglangbuana ke
berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang sederhana dan suka
merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini mempunyai
idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk
idola, biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna,
Gatutkaca, Bima atau Werkudara, Kresna.
Namun,
Affandi memilih Sokasrana yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh wayang
itu menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang
tampan. Meskipun begitu, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi
(Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan menerbitkan prangko baru seri tokoh
seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi) gambar yang
digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self portrait Affandi tahun 1974,
saat Affandi masih begitu getol dan produktif melukis di museum sekaligus
kediamannya di tepi Kali Gajahwong Wakil Presiden Republik Indonesia
(1972-1978)
Yogyakarta.
Kesederhanaan
cara berpikirnya terlihat saat suatu kali, Affandi merasa bingung sendiri
ketika kritisi Barat menanyakan konsep dan teori lukisannya. Oleh para kritisi
Barat, lukisan Affandi dianggap memberikan corak baru aliran ekspresionisme.
Tapi ketika itu justru Affandi balik bertanya, ''Aliran apa itu?''.
Bahkan
hingga saat tuanya, Affandi membutakan diri dengan teori-teori. Bahkan ia
dikenal sebagai pelukis yang tidak suka membaca. Baginya, huruf-huruf yang
kecil dan renik dianggapnya momok besar.
Bahkan,
dalam keseharian, ia sering mengatakan bahwa dirinya adalah pelukis kerbau,
julukan yang diakunya karena dia merasa sebagai pelukis bodoh. Mungkin karena
kerbau adalah binatang yang dianggap dungu dan bodoh.
Sikap
''sang maestro'' yang tidak gemar berteori dan lebih suka bekerja secara nyata
ini dibuktikan dengan kesungguhan dirinya menjalankan profesi sebagai pelukis
yang tidak cuma musiman pameran. Bahkan terhadap bidang yang dipilihnya, dia tidak
overacting.
Misalnya
jawaban Affandi setiap kali ditanya kenapa dia melukis. Dengan enteng, dia
menjawab, ''Saya melukis karena saya tidak bisa mengarang, saya tidak pandai
omong. Bahasa yang saya gunakan adalah bahasa lukisan.'' Bagi Affandi, melukis
adalah bekerja. Dia melukis seperti orang lapar. Sampai pada kesan elitis soal
sebutan pelukis, dia hanya ingin disebut sebagai ''tukang gambar''.
Lebih
jauh ia berdalih bahwa dirinya tidak cukup punya kepribadian besar untuk
disebut seniman, dan ia tidak meletakkan kesenian di atas kepentingan keluarga.
''Kalau anak saya sakit, saya pun akan berhenti melukis,'' ucapnya.
Dari
segi produktifitas, Affandi termasuk pelukis yang cukup produktif. Menurut
Affandi sendiri, dia telah melukis lebih dari 2.000 buah lukisan dan sekitar
300 buah lukisan koleksi pribadinya kini disimpan di Museum Affandi,
Jogyakarta. Museum yang diresmikan oleh Fuad Hassan, Lihat Daftar Menteri
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu dalam sejarahnya telah pernah
dikunjungi oleh Mantan Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988)
Presiden Soeharto dan Mantan Perdana Lihat Daftar Menteri
Menteri Malaysia Dr. Mahathir Mohammad pada Juni 1988 kala keduanya masih
berkuasa. Museum ini didirikan tahun 1973 di atas tanah yang menjadi tempat
tinggalnya.
Sampai
ajal menjemputnya pada Mei 1990, ia tetap menggeluti profesi sebagai pelukis.
Kegiatan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Ia dikuburkan tidak jauh dari
Museum yang didirikannya itu.
Saat
ini, terdapat sekitar 1.000-an lebih lukisan di Museum Affandi, dan 300-an di
antaranya adalah karya Affandi. Lukisan-lukisan Affandi yang dipajang di galeri
I adalah karya restropektif yang punya nilai kesejarahan mulai dari awal
karirnya hingga selesai, sehingga tidak dijual. Sedangkan galeri II adalah
lukisan teman-teman Affandi baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal
seperti Basuki Abdullah, Popo Iskandar, Hendra, Rusli, Fajar Sidik, dan
lain-lain. Adapun galeri III berisi lukisan-lukisan keluarga Affandi.
Di
dalam galeri III yang selesai dibangun tahun 1997, saat ini terpajang
lukisan-lukisan terbaru Pelukis
Kartika Affandi yang dibuat pada tahun 1999. Lukisan itu antara lain "Apa
yang Harus Kuperbuat" (Januari 99), "Apa Salahku? Mengapa ini Harus
Terjadi" (Februari 99), "Tidak Adil" (Juni 99), "Kembali
Pada Realita Kehidupan, Semuanya Kuserahkan KepadaNya" (Juli 99), dan
lain-lain. Ada pula lukisan Maryati, Rukmini Yusuf, serta Juki Affandi.